Jakarta (22/02)—Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Prof. Ir. Dwikorita Karnawati MSc., PhD., membuka Focus Group Discussion (FGD) “Lesson Learned from Turkey Earthquake for Mitigation Preparedness of The Next Potential Destructive Earthquake in Indonesia” di Gedung Auditorium BMKG, Kemayoran, Jakarta Pusat pada Kamis 22 Februari 2023. Kegiatan FGD ini berlangsung secara hybrid dengan peserta terbuka untuk umum dan mengundang para pakar kegempaan dan peneliti yang berasal dari luar negeri diantaranya Prof Walter D. Mooney, Dr. William Yeck dari United States Geological Survey (USGS), dan Prof. Y. Tanioka dari Hokkaido University serta pakar peneliti dalam negeri yang hadir berasal dari BMKG, BRIN dan ITB, sebut Prof. Ir. Dwikorita Karnawati MSc., PhD. Dalam sambutannya disampaikan bahwa kita perlu belajar dari gempa Turki, untuk itu mari kita dorong percepatan mitigasi dan kajian potensi kegempaan di Indonesia.

Dokumentasi pembukaan kegiatan oleh Kepala BMKG Prof. Ir. Dwikorita Karnawati M.Sc. Ph.D.

Ketua STMKG Dr. I Nyoman Sukanta, S.Si., M.T., yang turut serta dalam kegiatan FGD secara offline mengajak seluruh elemen masyarakat termasuk civitas STMKG untuk belajar dari gempa Turki untuk percepatan kajian cepat kegempaan yang berpotensi di Indonesia. Kejadian gempa Turki bisa menjadi pembelajaran dalam mitigasi bencana gempa bumi di Indonesia yang memiliki kesamaan sebagai wilayah yang berpotensi dan rawan gempa. Dr. I Nyoman Sukanta, S.Si., M.T., menambahkan perlu dilakukan kajian yang komprehensif terhadap potensi bahaya gempa dari sesar-sesar aktif di wilayah Indonesia, misalnya di zona sesar besar Sumatera, sesar Cimandiri di Jawa Barat, sesar Matano di Sulawesi, sesar Sorong, sesar Yapen, sesar Terera-Aiduna, dan yang lainnya. Mari perkuat mitigasi dan dorong kajian potensi kegempaan di Indonesia.

Dokumentasi Ketua STMKG

Sementara peneliti kegempaan STMKG, Dimas Salomo, PhD dalam tulisannya  “Gempa Turki dan Kesiapan Kita” yang dikutip dari detik.com, 23 Februari 2023, menjelaskan kejadian gempa dahsyat Turki dengan magnitudo 7,8 diduga bersumber dari zona sesar Anatolian Timur (East Anatolian Fault Zone/EAFZ). Gempa ini kemudian disusul oleh banyak gempa bumi susulan (aftershocks), termasuk satu yang cukup besar dengan magnitudo 6,7 pukul 04:28 waktu setempat, atau beberapa menit setelah gempa utama tadi. Akibat gempa dahsyat ini, banyak kerusakan bangunan dan lingkungan yang ditimbulkan oleh goncangan gempa dangkal tersebut. Intensitas gempa ini mencapai skala XI yang tergolong ekstrem. Dimas menambahkan, dilihat dari gempa bumi Turki menunjukkan bahwa distribusi episenter gempa-gempa susulan (aftershocks) mengindikasikan gempa terjadi dalam sistem sesar yang kompleks. Distribusi gempa-gempa susulan mendelineasi segmen sesar sepanjang 300 km. Dari hasil kajian seismolog, pemodelan kegempaan Turki diduga bergerak dengan tipikal kecepatan rupture gempa pada umumnya, yaitu sekitar 2,5 km/detik. Berbeda dengan gempa bumi Palu (Sulawesi) pada 2018, walau mekanisme gempanya mirip, tetapi gempa bumi Palu memiliki kecepatan supershear (sekitar 4-4,5 km/detik), yang lebih cepat dari kecepatan geser batuan.

Dokumentasi kegiatan Focus Group Discussion (FGD)

BMKG dan STMKG mendorong observasi kegempaan (seismisitas) secara kontinu dan berkesinambungan, dengan jaringan seismometer digital yang baik, untuk memahami mekanika dan dinamika di zona sesar aktif. Di sisi lain, perlu dilakukan observasi dengan jaringan yang disebut peralatan strong motion atau akselerograf yang intensif di sepanjang zona sesar aktif, untuk memahami kompleksitas sumber gempa dan efek gerakan permukaan bumi yang disebabkan oleh gempa di Indonesia.

Pewarta: Indah

Editor: Marzuki Sinambela